Memulaihari dengan bismillah Mengisi dengan sholawat dan istighfar Menghiasinya dengan kalimat thoyyibah Menutupnya dengan hamdalah
Beritabangsamerupakan portal online yang mengusung semangat Always be Trusted. Oleh karena itu kami ingin selalu memberi kepercayaan kepada publik Jawa Timur untuk bekerjasama dan berkolaborasi seluas-luasnya.
SangkanParaning Dumadi Dapatkan link; Facebook; Twitter; Pinterest; Email; Aplikasi Lainnya - Februari 22, 2014 Buku filsafat jawa berbahasa indonesia yang membahas kebijaksanaan hidup, kesejatian diri manusia, & kemakrifatan,.. Penyusunan buku bekerjasama dengan Paguyuban Sosrokartanan di Surabaya, yang merupakan perkumpulan orang-orang yang
Tidakada komentar: Fri, 19.. . kita berada di akhir hayat. Manusia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika . Desember 19, 2012 10:17 pm. pak bodong, pak riko di.. Sangkan Paraning Dumadi (Jejak Sejarah Pengetahuan Manusia) - Free download as Word Doc (.doc), PDF File (.pdf), Text File (.txt) or read online for free. .
Dumadiartinya lahir atau menjadi ada. Sebelum lahir, sebelum bernama, atau sebelum ada seperti ini, itulah sang asal. Sangkan paraning dumadi umumnya dipahami sebagai asal dan tujuan hidup. Ada yang Menyebutnya Tuhan sesuai dengan pemahaman atau agama pada umumnya. Sangkan paraning dumadi adalah kembali pada diri sejati atau rumah sejati.
SangkanParaning Dumadi, merupakan filosofi atau ajaran dalam ilmu Kejawen (kepercayaan tradisional Jawa) tentang bagaimana cara manusia menyikapi kehidupan. Dalam bahasa Jawa kuno, sangkan berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta.
. Kawruhana sejatining urip/ urip ana jroning alam donya/ bebasane mampir ngombe/ umpama manuk mabur/ lunga saka kurungan neki/ pundi pencokan benjang/ awja kongsi kaleru/ umpama lunga sesanja/ njan-sinanjan ora wurung bakal mulih/ mulih mula sejatinya hidup/ Hidup di dalam alam dunia/ Ibarat perumpamaan mampir minum/ Ibarat burung terbang/ Pergi dari kurungannya/ Dimana hinggapnya besok/ Jangan sampai keliru/ Umpama orang pergi bertandang/ Saling bertandang, yang pasti bakal pulang/ Pulang ke asal di atas merupakan falsafah Jawa favorit dunia ini diumpamakan seperti bersinggah ke suatu tempat atau mampir bertamu dan minum bersama. Artinya dunia ini selalu berubah dan tidak kekal. Seindah atau seburuk apapun selalu hanya sementara. Seseorang tidak bisa berdiam lama-lama dalam suatu persinggahan. Dalam bahasa Jawa istilahnya, "Urip iku mung mampir ngombe", hidup itu cuman numpang Paraning Dumadi menjelaskan bahwa kita manusia pada hakikatnya akan berpulang ke rumah sejati. Peristiwa berpulangnya manusia ke rumah sejati inilah yang menjadi catatan saya pagi artinya lahir atau menjadi ada. Sebelum lahir, sebelum bernama, atau sebelum ada seperti ini, itulah sang asal. Sangkan paraning dumadi umumnya dipahami sebagai asal dan tujuan hidup. Ada yang Menyebutnya Tuhan sesuai dengan pemahaman atau agama pada umumnya. Sangkan paraning dumadi adalah kembali pada diri sejati atau rumah sejati. Ini tingkat kedalaman bathin yang murni, yang bebas dari konflik dan prasangka. Sang asal sebelum jagad gumelar, sebelum bumi dan seisinya kita kenali sebagaimana sekarang pada umumnya. Jagad gumelar dalam hal ini adalah pikiran duniawi yang memiliki ciri dualitas. Karena ada dualitas maka ada positif dan negatif, ada hitam dan putih. Inilah dunia jagad yang kita kenali. Dan selanjutnya positif negatif itu menjadi reaksi suka dan tidak suka. Inilah kecenderungan duniawi yang dirasakan tentu beda dengan Sang Pencipta. Dalam bahasa Jawa, Sang Pencipta atau Tuhan atau Allah disebut Gusti. Gusti itu bagusing ati. Hubungan antara manusia dan Gustinya itu bersifat vertikal. Itulah makna dari Spiritualitas menurut saya seperti mimpi bertemu dengan almarhumah Eyang saya. Sepertinya ini merupakan pesan bawah sadar. Karena sudah jelas bukan di alam sadar jelas seperti apa isi pesannya dari sang 'Messenger', yang jelas saya berusaha menangkap dan mempelajari perihal berpulang ke rumah abadi dan esensi hidup manusia di saya yang kurang reresik sehingga subliminal message yang saya terima kurang jelas. Namun satu hal yang pasti, pesan muncul ketika saya telah berhasil melampaui fase penting dalam hidup. Seperti peristiwa semalam terkait rencana anggap ini adalah sebuah approval. Namun ada hal lain diluar approval ini yang tidak bisa saya jelaskan. Seperti ada beban lain yang disusupkan melalui mimpi. Ini soal kebersamaan. Ini soal ajaran cinta kasih tanpa syarat. Soal bloodline.
Tidak banyak orang yang tahu, kalau Sunan Kalijaga sesungguhnya tokoh sufi atau tasawuf—di samping sebagai juru dakwah penyiar Islam—yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Peran dan kiprahnya oleh Widji Saksono 1996 dikatakan sebagai salah seorang dari sunan-sunan lain dalam lingkaran Wali Sanga yang mempunyai andil besar dalam “mengislamkan tanah Jawa”. Sunan Kalijaga merupakan tokoh fenomenal, yang oleh masyarakat luas diakui sebagai Guru ing Tanah Jawi. Jasanya yang luar biasa besar adalah ketika ia mampu menyampaikan ajaran agama Islam dengan cara wicaksana, dan mudah diterima oleh berbagai lapisan sosial. Membaca keseluruhan tentang sosok Kanjeng Sultan secara personal, terasa sangat unik dan mengagumkan. Dalam cerita-cerita jenaka, misalnya dikisahkan, Syaikh Siti Jenar—wali yang paling terkenal setelah Sunan Kalijaga—demikian keramat dan sakti, sehingga delapan wali yang lain kecuali Sunan Kalijaga dapat diatasai dan dikalahkannya. Disebutkan bahwa Syaikh Siti Jenar itu bisa masuk bumi waktu dikejar-kejar oleh Sunan Kalijaga untuk menangkapnya. Di bawah tanah yang gelap gulita serta sempit-sesak itu lantaran keramatnya Syaikh Siti Jenar menciptakannya menjadi terang benderang dan luas-lapang seluas alam semesta lengkap dengan langitnya yang cerah. Untuk menandingi ini, maka Sunan Kalijaga menciptakan mendung, hujan dan topan badai yang amat dahsyat, sehingga alam di bawah bumi laksana bongkah, kembali gelap gulita dan sesak sempit seperti sediakala, bahkan lebih sempit dari yang semestinya. Itu terjadi lantaran kesaktian Sunan Kalijaga Saksono, 1996. Meski Syaikh Siti Jenar dan Sultan Kalijaga sama-sama mengajarkan makrifat, namun caranya berbeda. Menurut Achmad Chodjim 2004, Syaikh Siti Jenar lebih menitikberatkan pada olah batin untuk pencapaian “Diri Sejati”, sedangkan Sunan Kalijaga lebih memfokukan pengalaman praktis kehidupan sehari-hari orang Jawa dalam memahami asal-usul dan tujuan hidup sangkan paraning dumadi. Sangkan Paraning Dumadi Pendekatan Raden Syahid—nama kecil Sunan Kalijaga, atau disebut pula Syaikh Melaya karena dia adalah putera Tumenggung Melayakusuma di Jepara—dalam menjelaskan wejangan dengan berdasarkan kepada tiga hal, yaitu momong, momor, dan momot. Purwadi 2005 menjelaskan, bahwa momong berarti bersedia untuk mengemong, mengasuh, membimbing, dan mengarahkan. Sunan Kalijaga memperlakukan pihak yang lebih lemah seperti sikap orang tua yang sedang mengasuh anak, seperti Nyai dengan santrinya, seperti guru dan muridnya. Momor berarti bersedia untuk bergaul, bercampur, berkawan, dan bersahabat. Hal ini dimaksudkan agar pihak lain bisa merasa akrab. Sunan Kalijaga dihormati oleh segenap masyarakat Jawa karena kebijaksanaanya dalam melakukan pergaulan sehari-hari. Momot berarti kesediaan untuk menampung aspirasi dan inspirasi dari berbagai kalangan yang beraneka ragam. Sunan Kalijaga sangat berhasil menempatkan posisi keagamaan, kekuasaan, dan kebudayaan. Secara lebih spesifik, ajaran tasawuf Sunan Kalijaga dapat ditemukan dalam berbagai sumber, antara lain dari babat Serat dan Suluk. Ajaran tasawufnya menyangkut beberapa aspek pokok ajaran yaitu mengenai konsep pancamaya, ilmu hakikat, sangkan paraning dumadi, roh Ilafi ruh Idhafi, dan ajaran tentang fana, baqa, dan nubuat. Ajaran sangkan paraning dumadi seringkali diinternalisasi oleh para wali dan penganut mistik kejawen. Sunan Kalijaga pernah memberikan wejangan serupa yang tersimpul dalam Tembang Dhandhanggula sebagai berikut “Terjemahan hidup di dunia ini tidak lama/ seperti jika kamu pergi ke pasar/ tidak akan ke pasar terus/ pastilah akan kembali juga/ ke rumah asalnya/ maka jangan sampai keliru/ maka ketahuilah/ ilmu sangkan paran/ agar jangan sampai kesasar”. Suwardi Endraswara 2006 menafsirkan makna tersirat dari ajaran Sunan Kalijaga di atas. Bahwa menurutnya, pesan mistik tembang tersebut menghendaki bahwa hidup di dunia ini tidak lama, ibarat manusia pergi ke pasar, akan segera kembali ke rumah asalnya tadi, karena itu jangan sampai ragu-ragu terhadap asal-usulnya, agar jangan sampai salah jalan. Pesan ini menunjukkan bahwa manusia hidup di dunia sekadar mampir ngombe singgah untuk minum, karena suatu ketika akan kembali kepada Tuhan. Tuhan adalah tumpuan sangkan paraning dumadi. Ali Usman, pengurus Lakpesdam PWNU DIY
“Setiap tetes air dari Allah yang menimpa rambutmu, kepalamu, keningmu, wajahmu, badanmu, dan bajumu, mudah-mudahan merupakan datangnya rezeki Allah kepadamu. Dunia maupun akhirat,” buka Cak Nun mengawali Sinau Bareng di Ponpes Segoro Agung, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Jumat malam 21/02.Cak Nun melanjutkan prolog, mewedar kedudukan pesantren. Menurutnya, pesantren bukan masa silam, melainkan hari depan. Pesantren dengan segala kelengkapan metode maupun sistem belajarnya cukup diorientasikan untuk menjawab tantangan Nun menandaskan alternatif sudut pandang. Acap kali pesantren dianggap ketinggalan zaman, tergilas oleh sekolah modern. Stigma tradisional sering disematkan kepada pesantren, bahkan diakui tak lagi relevan di dunia pendidikan modern. Terhadap pandangan itu Cak Nun bersilang pendapat. “Pesantren adalah kaifiyyah tata cara, thoriqoh, sosial, budaya, spiritualitas, bahkan kenegaraan untuk masa depan,” itu tema Sangkan Paraning Dumadi dibabar secara bernas. Diteropong dari multiperspektif. Seraya berkelakar, Cak Nun menuturkan, bukan berarti kalau dirinya dan Ki Sigid Ariyanto bersandingan dalam sepanggung, maka acara ini terbagi dua tema. Antara religiusitas dan klenik. “Kita akan membicarakan persambungan antara wayang dan Islam,” papar Cak Paraning Dumadi itu kamu berasal dari mana dan hendak ke mana. Di Islam pernyataan itu sama dengan Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Sangkan manusia itu Innalillah dari Allah, sedangkan dumadi-nya ilaihi roji’un. Jadi, menurut Cak Nun, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un itu bukan untuk ucapan orang yang meninggal, melainkan orang yang masih manusia, lanjut Cak Nun, mengidentifikasi kelahirannya secara administratif lahir kapan, di mana, dan orang tua siapa. Pemahaman itu menjadi arus utama di kalangan masyarakat umum. Konsep sangkan dan paran, bagi Cak Nun, justru mendahului eksistensi pencatatan sipil semacam itu. Manakala Tuhan menciptakan, maka di situ permulaan itu datang dari Tuhan dan pulang kembali kepada-Nya. Pada kesempatan lain Cak Nun menguraikan dimensi Innalillahi wa inna ilaihi roji’un sebagai bulatan. Ia datang dari titik sama dan memutar kembali ke titik semula. Aneka rupa dinamika kehidupan manusia niscaya relatif, namun sangkan dan paran berpola itu BermaiyahCak Nun mengaitkan antara wayangan dan Maiyah. Maiyah itu bukan kelompok. Maiyah itu berpaut erat dengan kelembutan hati yang membuat manusia selalu ingin bertemu, bergandengan tangan dan menguatkan. “Wayangan iku yo Maiyahan. Maiyah bukan benda padat. Ia nilai. Setelah Sinau Bareng nanti, kita akan berpindah Maiyahan ke wayangan,” Ki Sigid Ariyanto adalah pelopor Simpul Maiyah Sendhon Waton, Rembang. Ia menjelaskan sepintas makna Sendhon Waton. Sendhon itu rangkaian kata terpilih dan terindah yang mengandung ajaran kearifan leluhur. Waton itu berarti mempunyai referensi, sebuah pijakan Sigid bercerita akan membawakan lakon Dewa Ruci dan Bima Suci. Kisah Dewa Ruci relevan ditampilkan karena, menurutnya, setarikan napas dengan tema Sangkan Paraning Dumadi. Menampilkan tokoh utama Brotoseno. “Ia sama dengan Bima dan Werkudara. Brotoseno berguru di Pesantren Sakalima. Di cerita Brotoseno tersebut ingin tahu ilmu Sangkan Paraning Dumadi Kawruh Kasampurnan,” lanjut Ki wayang kearifan lokal leluhur termediasi apik. Cak Nun mempertajam kalau selama ini pandangan mengenai wayang selalu dikaitkan dengan kisah Ramayana dan Mahabharata. Tapi sepanjang sejarahnya, seiring masuknya agama Islam, kedua kisah itu digubah oleh Sunan Kalijaga untuk media dakwah. “Jadi, wayang yang kita kenal sekarang yang berasal dari dua kisah tersebut pada gilirannya diislamkan’ oleh beliau,” konsep pakem dan carangan dalam wayang. Cak Nun sendiri melihat kedudukan punakawan yang terdiri atas Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong tak diambilkan dari epos India. Mereka dimunculkan sesuai kebudayaan Jawa. Upaya pencarangan dalam wayang, khususnya aspek pengisahan, kerap direproduksi dalang sebagai bagian dari proses kreatif.“Punakawan sendiri itu yang menemani dengan keilmuan dan kebijaksanaan, sementara ponokawan itu menemani dengan cinta,” papar Cak Nun. Oleh Cak Nun sendiri, selama proses kepenulisan kreatif, peran Punakawan pernah diadaptasikan ke dalam Novel Arus Bawah 1994. Tentu dengan penyesuaian alur cerita berlatar Karang Kedempel yang sebetulnya konotasi wilayah Indonesia. “Punakawan sendiri adalah representasi dari demokrasi yang disuarakan kaum kelas bawah.”Sinau Bareng malam itu begitu khidmat, meski gerimis terus mengguyur. Jamaah terlatih untuk “berpuasa” terhadap segala kondisi dan mengondusifkan diri agar tak terdistraksi. “Puasa adalah bentuk fermentasi mental dan hati. Jika kamu sering puasa, maka hatimu akan luwes dan lembut,” pesan Cak di luar diri hendaknya diatur sesuai kedaulatan individu. Cak Nun menambahkan agar jamaah jangan menangisi dunia. “Jangan bergantung pada dunia pula. Usahakan dunia tergantung pada Anda, dan Anda yang harus mengatur dunia,” tambahnya. Yang mempertautkan diri-dalam dan kondisi-luar adalah relasi penuh kasih. Pesantren punya potensi untuk berdaulat.“Hubungan tertinggi antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan adalah cinta. Berhentilah membuat sekat tentang keluasan cinta dan jangan pernah berhenti mencintai,” pungkas Cak Nun.
The Philosophy Axis of the Yogyakarta Palace reflects the human journey from a fetus, a baby, growing into a child, a teenager then an adult human being, having a family, aging and finally dying. The complete journey of human life is reflected in the philosophical expression of Sangkan Paraning Dumadi as the teachings of Islam are innalillahi wa innailaihi roji'un QS. Al-Baqarah [2]156. The philosophical concept of the heritage of the Javanese poets by Prince Mangkubumi is manifested in the form of the Yogyakarta Palace architecture. This article reviews the relationship of religion and culture with the Axis of Philosophy of Yogyakarta City within the framework of Javanese-Islamic typology through a phenomenology-hermeneutics of Husserlian-Heideggero-Gadamerian. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this ilmu pengetahuan sibuk bersitegang mengenai kebenaran objektif, maka fenomenologi meletakkan “kebenaran” pada nilai-nilai yang dihidupi oleh subjek. Di dalamnya, terurai pengalaman manusiawi, konflik, rekonsiliasi, kebijaksanaan lokal, kebenaran-kebenaran yang diinteriorisasi oleh subjek-subjek. Objektivitas, kata Aristoteles, adalah itu yang merujuk ke objeknya. Sementara, subjektivitas adalah itu yang menjadi milik subjek, milik manusia yang mengalami atau, menurut Martin Heidegger, milik Existenz. Karena alasan ini, sungguh naiflah para lmuwan yang meyakini bahwa lawan kata dari objektif adalah subjektif. Zaman old dahulu kala, saat para ilmuwan alam melakukan temuan-temuan baru di berbagai bidang kimia, fisika, biologi, dan yang sejenis, terminologi objektivitas sungguh-sungguh populer. Hegemoni objektivitas benar-benar melampaui ranah ilmu alam sampai segitunya lho!. Dan, yang dimaksud objektivitas ialah itu yang terukur, terstandar, terkriteria, atau dapat dihitung, dikalkulasi, distatistikkan, dan di rata-rata menurut hitungan matematika dengan segala prosedurnya. Auguste Comte menjadi salah satu yang terkenal karena dia mendeklarasikan diri sebagai “ilmuwan sosial” tetapi pada saat yang sama dia juga deklarator pendekatan objektif atau waktu itu terkenal dengan sebutan “positivistik.” Karl Marx berada di kemah yang sama dengan Comte, positivisme. Dan, sejarah ilmu pengetahuan mencatat, pendekatan positivistik itu revolusioner, menggebrak, dan mengubah dunia. Sampai hari ini tidak sedikit ilmuwan sosial bermesraan” dengan pendekatan yang demikian karena meyakini seperti para pendahulunya zaman old itu bisa mengubah dunia dengan deklarasi mengenai objektivitas. Andik Wahyun MuqoyyidinThis article reveals the Islamic cultural problems which spreadsand develops in Indonesia especially those which are related to Islam andJavanese culture dialectic. This idea refers to cultural-sociological framewhich dominated more in the form of acculturation. Although there was afluctuated development in the 19’s still acculturation dominated almostall religion’s expression in Java. Syncretism and religion tolerance becamethe character of Islam in Java and this was based to Javanese contextanimism and Hinduism. Muhammad ZuhdiDakwah para penyebar Islam awal ke Nusantara telah menunjukkan akomodasi yang kuat terhadap tradisi lokal masyarakat setempat. Sehingga Islam datang bukan sebagai ancaman, melainkan sahabat yang memainkan peran penting dalam transformasi kebudayaan. Hal ini menunjukkan bahwa karakter Islam Indonesia yang berdialog dengan tradisi masyarakat sesungguhnya dibawa oleh para mubaligh India dalam penyebaran Islam awal di Indonesia yang bersikap akomodatif terhadap tradisi masyarakat atau kultur masyarakat setempat ketimbang mubaligh Arab yang puritan untuk memberantas praktik-praktik lokal masyarakat. Karakter Islam yang dibawa orang-orang India inilah yang diteruskan Walisongo dalam dakwahnya di Jawa. Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Perpaduan antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti berdialog dengan tradisi lokal masyarakat setempat Heddy Shri Ahimsa PutraIn this article the author explains what is called phenomenoÂlogical approach’ in the study of religion. Starting from Husserl’s philosophy of phenomenology, the author tracing its influences in social science through one of Husserl’s students, Alfred Schutz. Based on Husserl’s ideas developed by Schutz, the author presents his views how those ideas can be applied in the study of religion, and how religion can be defined phenomenoÂlogically. The author further explains some methodoÂlogical ethical implications of doing phenomenoÂlogical research on religion. *** Dalam tulisan ini penulis menjelaskan apa yang disebut penÂdekatan fenoÂmenologi’ dalam kajian agama. Berangkat dari filsafat fenomenoÂlogi Husserl, penulis melacak peÂngaruhnya pada ilmu sosial melalui salah seorang murid Husserl, Alfred Schultz. Berdasarkan ide Husserl yang diÂkembangkan oleh Schultz, penulis menyajikan panÂdangÂanÂnya bagaimana ide-ide itu dapat diterapkan dalam kajian agama, dan bagaimana agama dapat didefinisikan secara fenomenologis. Penulis selanjutnya menjelaskan beberapa impliÂkasi etis metodologis jika meÂlakukan kajian fenomenoÂlogis terhadap SumbulahJavanese Islam has a character and a unique religious expressions. This is because the spread of Islam in Java, more dominant takes the form of acculturation, both absorbing and dialogical. The pattern of Islam and Javanese acculturation, as well as can be seen on the expression of the Java community, is also supported by the political power of Islamic kingdom of Java, especially Mataram which had brought Islam to the Javanese cosmology Hinduism and Buddhism. Although there are f luctuations in the relation of Islam to the Javanese culture, especially the era of the 19th century, but the face looks acculturative Javanese Islam dominant in almost every religious expressions Muslim communities in this region, so the aspect of ”syncretic” and tolerance of religions into one distinctive cultural character of Javanese Islam. Agama Islam di Jawa memiliki karakter dan ekspresi keberagamaan yang unik. Hal ini karena penyebaran Islam di Jawa, lebih dominan mengambil bentuk akultrasi, baik yang bersifat menyerap maupun dialogis. Pola akulturasi Islam dan budaya Jawa, di samping bisa dilihat pada ekspresi masyarakat Jawa, juga didukung dengan kekuasaan politik kerajaan Islam Jawa, terutama Mataram yang berhasil mempertemukan Islam Jawa dengan kosmologi Hinduisme dan Budhisme. Kendati ada fluktuasi relasi Islam dengan budaya Jawa terutama era abad ke 19-an, namun wajah Islam Jawa yang akulturatif terlihat dominan dalam hampir setiap ekspresi keberagamaan masyarakat muslim di wilayah ini, sehingga ”sinkretisme” dan toleransi agama-agama menjadi satu watak budaya yang khas bagi Islam AzraIslam NusantaraAzra, Azyurmardi, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal, Bandung Mizan, Penerbit GramediaM A W BrowerPsikologi FenomenologisBrower, Psikologi Fenomenologis. Jakarta Penerbit Gramedia, Dinas KebudayaanBuku ProfilDinas Kebudayaan DIY, Buku Profil Yogyakarta City of Philisophy, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta EndraswaraFalsafah Kepemimpinan JawaEndraswara, Suwardi, Falsafah Kepemimpinan Jawa. Jakarta PT Buku Seru, HaryantoTriHaryanto, Joko Tri, Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan, Semarang Pustakindo Pratama, KoentjoroningratJawaKoentjoroningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta Balai Pustaka, Primbon Suanan BonangMas KumitirKumitir, Mas, "Kitab Primbon Suanan Bonang", 2017, diakses 28 Sepetember 2020, Hermeneutika dalam Tradisi Barat ReaderLembaga PenelitianUin SunankalijagaLembaga Penelitian UIN Sunankalijaga, "Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat Reader", Editor Syafa'atun Almirzanah dan Shairon Syamsuddin YogyakartaPenerbit UIN Sunan Kalijaga, S MarizarKursi Kekuasaan JawaMarizar, Eddy S., Kursi Kekuasaan Jawa. Jakarta Narasi, 2013. Mifedwil, Jandra, Perangkat Alat-alat dan Pakaian serta Makna Simbolis Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta Yogyakarta Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya DIY, RahayuPermana Rahayu, "Sejarah Masuknya Isam di Indonesia, Jurnal, 2015Qur'anic Concept of God, The Universe and ManFazlur RahmanRahman, Fazlur, "Qur'anic Concept of God, The Universe and Man", Islamic Research Institute, Vol. 6, No. 1, MARCH di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian JawaM C RicklefsRicklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta Mata Bangsa, TibbiIslamTibbi, Bassam, Islam and Cultutral Accommodation of Social Change, San Francisco Westview Pres, R WagnerWagner, Helmut R., Alfred Schutz on Phenomenology and Social Relation. Chicago and London Chicago University Press, Deconstruction of TimeDavid WoodWood, David, The Deconstruction of Time, Antlantic Highland humanities Press International, Inc, fi Ulum Al-Qur' an, Beirut Dar al-Ma'rifahZarkasyiZarkasyi,al-, Burhan fi Ulum Al-Qur' an, Beirut Dar al-Ma'rifah, 1972. juz 113.
- Dialog antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Drajat ini hanya dialog imajinatif yang menjelaskan tentang makna-makna tembang Jawa mulai dari Maskumambang, Mijil, Kinanti, Sinom, Asmorodono, Gambuh, Dandang Gulo, Durmo, Pangkur, Megatruh hingga Pucung, kaitannya dengan terjemah la ilaha illa Allah menjadi sangkan paraning dumadi. Sehingga, ketika mereka meninggal lupa sangkan, mereka di-canggah malaikat, disebutlah sebagai canggah orang tua kakek. Sunan Kalijaga Wayangku iki wayang innalillahi wa inna ilaihi roji'un, nanging iki yen ngene iki wong Jawa ora mudheng. Sak lajengipun Sunan Kalijaga musyawarah kaliyan Sunan Bonang dan Sunan Drajad. Sunan Drajad ngendhikan Nyuwun sewu Dimas Kalijaga, punika wayang innalillahi wa inna ilaihi roji'un yen wong Jawa ora mudheng. Supayane wong Jawa isa mudheng tak jenengi “Aja Lali Sangkan Paraning Dumadi”. Lha ben uwong ki ora lali karo sangkan paraning dumadi, tak gaweke tembang macapat. Tembang macapat ki apa? Ben uwong isa slamet kudu isa maca barang papat. Barang papat kuwi apa? Kancane nyawa sing medhun nang donya, manggon ing raga. Sing nang sisih tengen malaikat 2 jenenge Malaikat Khafadhoh, sing manggon nang sisih kiwa iblis 2 jenenge Jin Korin. Iki yen wong Jawa ya ra mudheng. Pramila iki tak jenengi sedulur papat lima pancer. Yen masalah pancer iki yen awake dewe ora ngerti isa dadi perkara. Amarga ing wayah pancer iki merlokake samubarang, nggunakake kekuwatan sing tengen isa, nganggo kekuwatan sing kiwa uga isa. Kayata, wong lanang kang nembe nandhang wuyung maring wong wadhon, arep nggunakake kekuwatan sing tengen iso, carane pasa 3 dina sing diwaca Ya Rohman Ya Rohim. Sesuk mesti wong wadhone ngomong “I love You”. Nggunakake kekuwatan sing kiwa uga isa, carane puasa ngebleng 3 dina sing diwaca sun amantek aji, ajiku si jaran goyang. Ya padha-padha isa. Dadi padha-padha kelakone. Dadi yen kyai sing tirakate kuwat ya padhang, dukun sing ora tau adus yen tirakate kuat, ya padhang. Dadi padha-padha padhange, nggoleki pitik ilang takon kyai ya ketemu, takon dukun sing ra tau adus ya ketemu. Mung bedhane sing siji tengen kaya padhange lampu, sing sijine kiwa kaya padange omah kobong. Nggoleki pitik bengi-bengi nggawa lampu senter ya ketemu, nggawa blarak sing di gendel di obong ya ketemu. Lampune senter wutuh, blarake kobong entek. Ya wis yen ngono Dimas Kalijaga, kanti kawitan iki tak gaweke meneh tembang Maskumambang medhune nyawa nang alam donya kanti di kapati, di pitoni di kanti waosan Qur'an lan solawat. Maskumambang medhune nyawa nang alam donya kok mlebu nang ragane ibu dadi bayi, mengko yen lahir tak jenengi tembang Mijil. Mijil Tegese bocah lahir rupa lanang rupa wedhok. Yen lanang wedhus 2, yen wedok wedhus 1 di akeqohi di sahadatke ting Gusti Allah. Sakwuse Mijil tembange Kinanti. Kinanti Bocah cilik-cilik kuwi Kinanti kudu di kanti ahklaq di kanti agama. Mulakne kaya NU gawe TPA, TPQ, Roudhotu Atfal iku kanggo nrima kinanti-kinanti iku. Kinanti cilik-cilik kok ora diajar akhlak, ora dikanti agama mengko ndak mleset. Amarga menungsa arep mlebu tembang Sinom. Sinom Bocah bakal dadi enom. Bocah yen enom ndablek, angel diwulang. Sakwuse kuwi tembange Asmorodono. Asmorodono Bocah yen atine wis ketaman asmara, wis wiwit “jatuh cinta,” ora isa diajari. Wong tai kucing wae jarene rasa coklat. Bubar kuwi tembange Gambuh Gambuh Tempuk bocah lanang wadhon mbangun omah-omah. Diterusne tembange Dandang Gula. Dandang Gula Dandang pahit, gua legi, yen entuk bojo pinter golek duwit, uripe rukun adem ayem, kuwi entuk'e legi kaya gulo. Nanging yen entuk bojo kok gaweane ming tayuban, anane ming ngramal togel, bali-bali nggablok, kuwi entuk'e pahit, kaya dandang. Dadi wis bisa ngrasakne pahit legine urip. Diteruske tembang Durmo. Durmo Wayahe darmakne raja brana, ilmu, khoirun nass anfa'uhum linnas. Banjur tembange Pangkur. Pangkur Menungsa ngerti-ngerti mungkur seko donya. Paramila yen ndang mungkur golek dalan sing bener, mlebu masjid, nggolek ulama' sakdurunge kesusul tembang Megatruh. Megatruh Copot raga sak sukmane. Paling keri tembange Pucung. Pucung Menungsa ming di pocong sluku-sluku batok. Yen wis di pocong terus di lebokke nang lawang ciut. Mula di jenengi Buyut kuwi tegese siap-siap mlebu lawang ciut. Yen wis mlebu lawang ciut ketemu karo Malaikat Munkar Nakir. Yen lali karo Sangkan Paraning Dumadi nalika ditakoni malaikat kok ra isa mangsuli, ya langsung dicanggah karo malaikat-e. Dadi wareng wedi ndelok akherat, di udhek-udek nang neraka, di gantung kaya siwur, dithuthuki modal madil kaya tarangan bodol, ajur mumur kaya gedebhok bosok. Baca Duta Islam Sebutan Garis Keturunan dalam Tardisi Jawa Dadi pangkate anak, bapak, simbah, buyut, canggah, wareng, udhek-udhek, gantung siwur, tarangan bodol, gedebok bosok. Iki lho piwulange para ulama mbiyen. Piwulang nganggo cara sing “luar biasa”. Dadi wong Jawa malah padha mudheng, padha guyup rukun, ora malah padha padu pinter-pinteran dalil lan hadist. [
DALAM konsep tauhid Islam khas orang Jawa dikenal istilah sangkan paraning dumadi. Konsep ini berkaitan dengan kesatuan asal dan tujuan dari penciptaan manusia dan alam semesta yang hulu dan muaranya adalah Tuhan. “Sangkan paraning dumadi menjelaskan bahwa semuanya berasal dari adi kodrati yaitu Tuhan,” kata Ki Teguh Slamet Wahyudi pada Gema Ramadhan Ngaji Suluk-suluk Sunan Kalijaga, di Sanggar Suluk Nusantara, Perumahan Depok Mulya 1, Depok, Jawa Barat. Ia menganalogikan, masyarakat Indonesia pada akhir Ramadan banyak yang melakukan mudik atau pulang kampung. Hal itu dilakukan karena di kampung halaman mereka memiliki sanak saudara dan orang tua yang ingin dikunjungi. Pemudik bersilaturahim kepada yang masih hidup, dan berziarah kepada yang telah meninggal dunia. “Pulang kampung menjadi aktivitas setiap tahun, sebuah ilustrasi yang pada akhirnya kita akan pulang ke asal kita, yaitu Tuhan,” lanjut doktor pada bidang Matematika ini, Sabtu 26/5. Baca Tolak Permintaan MKD untuk Teliti Video Syur Mirip Koleganya di DPR, Ini Alasan Roy Suryo Baca Mencuci Hidung Setiap Hari Dapat Membebaskan Aliran Sinus dari Alergi, Bakteri, dan Virus Serat Kawedar Sunan Kalijaga Dalam pemahaman orang Jawa, sangkan paran dumadi terkait dengan tiga hal, yakni asal alam semesta, tujuan manusia, dan pencipatan manusia. Ketiganya tergambar pada Serat Kawedar karangan Sunan Kalijaga, meski tidak secara ekspilisit dan tidak terlalu banyak tujuan hidup itu dijelaskan. Pada bait sepuluh disebutkan Ana kidung rekeki Hartati/sapa weruh reke araning wang/duk ingsun ana ing ngare/miwah duk aneng gunung/ki Samurta lan Ki Samurti/ngalih aran ping tiga/arta daya engsun/araning duk jejaka/Ki Hartati mengko ariningsun ngalih/sapa wruh araning wang// Ada kidung bernama Hartati/siapa yang tahu itu adalah namaku/tatkala aku masih tinggal di ngarai/dan ketika tinggal di gunung/Ki Samurta dan Ki Samurti/berganti nama tiga kali/aku adalah arta daya/namaku tatkala masih perjaka/kelak namaku berganti Ki Hartati/Siapa yang tahu namaku. Baca Gelar Rapat Terbatas ke-11, Jokowi Singgung Masih Sepinya Promosi Asian Games 2018 Bait sepuluh di atas dimaknai sebagai ilustrasi hubungan Tuhan dan manusia saat masih di alam ruh.
sangkan paraning dumadi sunan kalijaga